Profil Kependudukan Jawa Tengah
Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010
I. Komposisi Penduduk Jawa Tengah.
Tabel 1. Beberapa indikator penduduk Jawa Tengah menurut SP 2010.
Indikator | Jateng |
Sex Rasio | 98,8 |
Dependency Rasio | 50,31 |
Density (orang/km2) | 995 |
Median Umur (Th) | 30,06 |
Laju Pertumbuhan Penduduk (%) | 0,37 |
Penduduk (orang) | 32.382.657 |
Dari tabel 1 tersebut diatas menunjukkan bahwa : jumlah penduduk Jawa Tengah 32.382.657 pada tahun 2010, lebih rendah dari proyeksi penduduk tahun 2010 yaitu sebesar 33,09 juta, dengan sex rasio 98,8 (laki-laki 16.091.112, dan perempuan 16.291.545), median umur (th) 30,06, sedangkan laju pertumbuhan penduduknya 0,37 terendah tingkat Nasional (1,49). Dependency rasio/ angka ketergantungan 50,31 lebih rendah dari nasional (51,33), dengan density/ kepadatan penduduk 995 orang per/km2 jauh lebih tinggi dibanding Nasional 124 orang per/km2, hampir 14 persen penduduk Indonesia ada di Jawa Tengah.
Piramida penduduk Jawa Tengah 2010 merupakan sebuah gambaran stuktur penduduk yang sangat menarik untuk dilakukan kajian, karena dari piramida tersebut dapat diketahui jumlah penduduk berdasar pengelompokan umur dan jenis kelamin. Dari piramida tersebut dapat dilihat beberapa hal yang sangat menarik untuk dilakukan kajian, antara lain yaitu pada perbedaan jumlah penduduk berdasar kelompok umur dimana terdapat :
a. Penduduk balita dan anak-anak : 0 -14 th : 8.515.767 (26,73%)
b. Penduduk Usia produktif :15-65 th : 21.543.349 (65,72%)
c. Penduduk Lansia : 65 keatas : 2.323.541 ( 7,55%)
Kondisi tersebut dalam ilmu demografi disebut Triple Burden, yaitu setiap kelompok umur tersebut berjumlah besar dalam periode yang sama, sehingga berakibat pada meningkatnya beban pemerintah dalam hal penyiapan fasilitas kesehatan baik untuk anak-anak, lansia, pendidikan, dan penyedian lapangan kerja.
1.1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
Tabel 1.1 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Umur | Jenis Kelamin | Total | |
Laki-laki | Perempuan | ||
(1) | (2) | (3) | (4) |
0 – 4 | 1 395 222 | 1 316 049 | 2 711 271 |
5 – 9 | 1 451 901 | 1 377 463 | 2 829 364 |
10 – 14 | 1 529 409 | 1 445 723 | 2 975 132 |
15 – 19 | 1 396 945 | 1 315 854 | 2 712 799 |
20 – 24 | 1 153 174 | 1 192 603 | 2 345 777 |
25 – 29 | 1 269 389 | 1 318 987 | 2 588 376 |
30 – 34 | 1 249 893 | 1 279 398 | 2 529 291 |
35 – 39 | 1 193 061 | 1 229 691 | 2 422 752 |
40 – 44 | 1 181 798 | 1 237 565 | 2 419 363 |
45 – 49 | 1 075 720 | 1 122 667 | 2 198 387 |
50 – 54 | 936 893 | 937 424 | 1 874 317 |
55 – 59 | 739 978 | 687 457 | 1 427 435 |
60 – 64 | 485 944 | 538 874 | 1 024 818 |
65 – 69 | 401 455 | 467 238 | 868 693 |
70 – 74 | 299 511 | 386 369 | 685 880 |
75 + | 330 802 | 438 166 | 768 968 |
TT | 17 | 17 | 34 |
JAWA TENGAH | 16 091 112 | 16 291 545 | 32 382 657 |
Sumber : BPS Sensus Penduduk Tahun 2010
Dari 32,3 juta penduduk Jawa Tengah jika dirinci menurut kelompok umur, maka akan diperoleh angka sebagai berikut : Pada kelompok umur 0-14 tahun ada 26,73 %, kelompok umur 15-64 tahun berjumlah 65,72 %, dan kelompok umur 65 tahun ke atas berjumlah 7,55 %. Angka tersebut menunjukkan bahwa Jawa Tengah hampir menikmati Bonus Demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif 15-64 tahun hampir dua kali lipat dari kelompok umur tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Hanya yang menjadi masalah, apakah kelompok usia produktif itu termasuk penduduk yang bermutu, karena data BPS (2010) menunjukkan ada 5.204.437 jiwa penduduk Jawa Tengah yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu, alias menjadi setengah penganggur.
Berdasarkan analisis penduduk menurut kelompok umur tersebut maka permasalahan yang dihadapi pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah :
1) Program Kependudukan dan Keluarga Berencana. Pernyataan ini terkait dengan relatif besarnya jumlah penduduk kelompok umur 0-4 tahun dan 5-9 tahun. Hasil SP 2010 memang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk (LPP) Jawa Tengah hanya 0,37 % dan tercatat terendah di Indonesia. Namun jika melihat besarnya kelompok umur balita, maka tersirat bahwa LPP yang rendah tersebut bukan karena turunnya angka kelahiran, karena angka Total Fertility Rate (TFR) di Jawa Tengah masih 2,3. Demikian pula rasio anak terhadap wanita di Jawa Tengah melonjak tajam dari 128 balita per 1000 wanita menjadi 318,62 balita per 1000 wanita. Ini artinya fertilitas makin tinggi di Jawa Tengah. Dengan kata lain, rendahnya LPP hampir dapat dipastikan karena sebab lain, misalnya migrasi keluar, dan pernyataan ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Program KKB yang perlu ditingkatkan adalah :
a. Sosialisasi dan penyuluhan agar usia kawin pertama ditingkatkan karena data BPS (2010) menyebutkan jumlah pasangan usia subur (PUS) usia 20-24 tahun di Jateng masih tinggi yakni 54,81 persen dari Wanita Usia Subur (WUS) pada tahun 2009 dan justru naik menjadi 59,77 persen pada tahun 2010. Jika PUS ini berusia semakin muda, maka kesempatan untuk melahirkan anak makin besar. Rata-rata usia kawin pertama untuk perempuan di Jateng adalah 22,27 tahun dan untuk laki-laki 26,72 tahun, bahkan untuk perdesaan angka itu lebih kecil lagi yakni 20,90 tahun untuk perempuan dan 25,80 untuk laki-laki (BPS,2010);
b. Peningkatan quality of care para peserta KB karena data yang dicatat BPS (2010), masih ada 18,26 persen PUS yang tidak ber-KB dengan alasan takut efek samping, 6,15 persen tidak tahu KB, 1,57 persen tidak tahu alat atau cara KB, dan 23,73 persen karena alasan lainnya. Jika ada penyuluhan dan jaminan keselamatan dari petugas kesehatan KB, maka angka ini dapat ditekan. Ini artinya harus ada program KB yang benar-benar berwawasan quality of care yakni mendekati peserta KB dengan penuh empati serta menjamin keberlangsungan keselamatan dalam ber KB; Jika ini dilakukan, maka keikutsertaan PUS untuk ber KB akan meningkat yang kini hanya berada pada angka 63,85 persen saja. Artinya ada 36,15 persen PUS yang tidak ber KB. Harap dicatat bahwa keikutsertaan ini berkurang artinya jika tidak dipantau dan dipertahankan keberlangsungannya, apalagi yang menggunakan Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang mengalami penurunan dari 19,06 persen pada tahun 2009 menjadi 18,26 persen pada tahun 2010. Mereka yang ber KB dengan alat KB jangka pendek rawan DO.
2) Penyiapan program kesehatan yang baik dan anggaran yang cukup untuk menjaga calon anak bangsa ini. Sebagai contoh, untuk tingkat nasional, biaya imunisasi sebesar Rp. 791 milyar pada tahun 2008, akan meningkat menjadi sekitar Rp. 1,4 trilyun pada tahun 2015. Program kesehatan bayi ini penting karena data SDKI (2007) menyebutkan ada 26 kematian bayi di Jawa Tengah per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi ini juga diduga masih berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi PUS seperti : kemiskinan, pendidikan yang masih rendah, usia kawin yang masih dini (36,05 persen perempuan di Jateng menikah pada usia di bawah 19 tahun, bahkan ada 11,9 persen perempuan usia 10-15 tahun yang sudah menikah). Kenyataan ini menunjukkan bahwa program-program pemberdayaan perempuan, peningkatan status sosial ekonomi, peningkatan pendidikan dan sebagainya, merupakan hal mendasar yang harus digarap serius. Jika PUS rendah tingkat pendidikannya, maka diperkirakan akan memiskinkan mereka, dan akan mempengaruhi usia kawin pertama, dan sebaliknya. Kemiskinan akan menyebabkan mereka kekurangan gizi dan nutrisi serta menghambat keikutsertaan KB, karena ada yang berpendapat : banyak anak banyak rezeki atau banyak anak berarti akan membantu ekonomi keluarga.
3) Penyiapan dan penyediaan anggaran untuk pendidikan, serta penyediaan lapangan kerja, karena di Provinsi Jawa Tengah jumlah penduduk kelompok usia sekolah 10-14 tahun dan 15-19 tahun adalah yang tertinggi diantara kelompok umur lainnya.
4) Revitalisasi program KB yang benar-benar berakar di tingkat paling bawah, maupun di tingkat kabupaten/kota. Dalam era desentralisasi ini peran pemerintah kabupaten atau kota sangat penting, namun fakta yang ada menunjukkan program KB menghadapi masalah yang cukup serius, ditandai dengan kurangnya perhatian pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan data menunjukkan hal yang dapat dicatat dari permasalahan di kabupaten/kota adalah :
- Banyak petugas lapangan KB (PLKB) yang beralih tugas. Jumlah petugas lapangan KB hanya 21.000 orang, yang berarti menyusut sekitar 14.000 orang dibanding pada saat KB sukses di masa Orde Baru. Data BPS (2010) di Jawa Tengah adalah bahwa rasio petugas PLKB dengan desa yang ditangani adalah 1 : 3. Artinya setiap PLKB harus menangani 3 desa, dan ini tentu saja akan menghambat dan menambah berat tugasnya, terutama pada saat Pendataan Keluarga yang harus mendata dan merekap ribuan data keluarga.
- Jumlah klinik-klinik KB di Jawa Tengah jumlahnya terus menurun.
- Jumlah peserta KB menurut SDKI 2007 hanya 63,7%.
1.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Dari hasil sensus penduduk 2010 seperti pada tabel 1.2 diperoleh angka perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan 98,8 yaitu (laki-laki 16.091.112 dan perempuan 16.291.545). Sebaran penduduk menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa umumnya kabupaten dan kota di Jawa Tengah juga lebih banyak jumlah penduduk perempuan daripada jumlah penduduk laki-laki, kecuali pada 9 Kab/Kota yaitu: Kab. Cilacap, Kab. Banyumas,Kab. Banjarnegara, Kab.Wonosobo, Kab. Magelang, Kab. Kendal, Kab. Batang, Kab. Brebes, serta Kota Pekalongan.
Tabel 1.2 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Kabupaten/Kota | Jenis Kelamin | ||||
Laki-laki | Perempuan | Jumlah | |||
01 | Kab | Cilacap | 824 279 | 817 828 | 1 642 107 |
02 | Kab | Banyumas | 778 197 | 776 330 | 1 554 527 |
03 | Kab | Purbalingga | 420 258 | 428 694 | 848 952 |
04 | Kab | Banjarnegara | 436 152 | 432 761 | 868 913 |
05 | Kab | Kebumen | 578 724 | 581 202 | 1 159 926 |
06 | Kab | Purworejo | 343 644 | 351 783 | 695 427 |
07 | Kab | Wonosobo | 383 401 | 371 482 | 754 883 |
08 | Kab | Magelang | 594 117 | 587 606 | 1 181 723 |
09 | Kab | Boyolali | 459 044 | 471 487 | 930 531 |
10 | Kab | Klaten | 555 700 | 574 347 | 1 130 047 |
11 | Kab | Sukoharjo | 409 174 | 415 064 | 824 238 |
12 | Kab | Wonogiri | 452 386 | 476 518 | 928 904 |
13 | Kab | Karanganyar | 402 964 | 410 232 | 813 196 |
14 | Kab | Sragen | 421 363 | 436 903 | 858 266 |
15 | Kab | Grobogan | 648 598 | 660 098 | 1 308 696 |
16 | Kab | Blora | 409 170 | 420 558 | 829 728 |
17 | Kab | Rembang | 295 266 | 296 093 | 591 359 |
18 | Kab | Pati | 578 127 | 612 866 | 1 190 993 |
19 | Kab | Kudus | 383 508 | 393 929 | 777 437 |
20 | Kab | Jepara | 548 140 | 549 140 | 1 097 280 |
21 | Kab | Demak | 523 984 | 531 595 | 1 055 579 |
22 | Kab | Semarang | 458 203 | 472 524 | 930 727 |
23 | Kab | Temanggung | 355 819 | 352 727 | 708 546 |
24 | Kab | Kendal | 457 263 | 443 050 | 900 313 |
25 | Kab | Batang | 353 603 | 353 161 | 706 764 |
26 | Kab | Pekalongan | 417 406 | 421 215 | 838 621 |
27 | Kab | Pemalang | 625 565 | 635 788 | 1 261 353 |
28 | Kab | Tegal | 694 695 | 700 144 | 1 394 839 |
29 | Kab | Brebes | 872 934 | 860 935 | 1 733 869 |
71 | Kota | Magelang | 58 311 | 59 916 | 118 227 |
72 | Kota | Surakarta | 243 296 | 256 041 | 499 337 |
73 | Kota | Salatiga | 83 479 | 86 853 | 170 332 |
74 | Kota | Semarang | 764 487 | 791 497 | 1 555 984 |
75 | Kota | Pekalongan | 140 983 | 140 451 | 281 434 |
76 | Kota | Tegal | 118 872 | 120 727 | 239 599 |
JAWA TENGAH | 16 091 112 | 16 291 545 | 32 382 657 |
Sumber : BPS Sensus Penduduk Tahun 2010
Berdasarkan data jumlah penduduk menurut jenis kelamin, maka permasalahan yang dihadapi Provinsi Jawa Tengah diantaranya adalah :
1) Penyiapan program KB yang lebih intensif dengan target meningkatkan peserta KB yang baru. Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa jumlah wanita usia subur (WUS) usia 15-49 tahun cukup tinggi yaitu 53,38% dan kelompok umur wanita 10-14 tahun adalah yang paling tinggi bila dibanding dengan kelompok umur lainnya. Kenyataan ini merupakan tantangan yang berat bagi program KKB di Jawa Tengah; Hal yang harus ditingkatkan adalah pembentukan Pusat-pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK), memasukkan tema-tema KB dan kesejhatan reproduksi remaja ke mata pelajaran yang sudah ada di sekolah (jadi bukan kurikulum tersendiri yang memberatkan. Tuntutan ini terkait dengan fakta bahwa masih ada 19,7 persen kehamilan tidak dikendaki (unwanted pregnancy), 12,5 persen penderita penyakit seks menular terutama HIV/AIDS, dst. PIK yang didirikan dapat saja bekerjasama dengan berbagai organisasi keagamaan, pendidikan, kepemudaan, dst.
2) Menekan angka drop out (DO) peserta KB, karena menurut BKKBN Jawa Tengah (2011), jumlah angka DO masih 7,56 persen, terendah di Kabupaten Magelang 3,03 persen dan tertinggi 18,96 persen di Kabupaten Brebes. Angka ini berada di atas kewajaran sebesar 7 persen per tahun. Jika pada tahun 2002-2003 tingkat penggunaan kontrasepsi mencapai 62,2 %, maka pada tahun 2007 turun menjadi 59,9 %, dan pada semester pertama tahun 2008 tingkat drop out peserta KB mencapai angka 285.016 orang dan pada tahun 2011 menjadi 428.641 orang yang DO. Akibatnya pada tahun 2007 angka TFR (total fertility rate) Pasangan usia subur 15-49 tahun menjadi 2,3, berarti naik 0,2 poin dibanding tahun 2002-2003. Angka 0,2 poin ini tinggi terutama jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Jateng yang mencapai angka 32,2 juta jiwa yang berarti urutan ketiga terbesar di Indonesia. Angka 0,2 artinya jumlah anak yang dimiliki wanita usia subur meningkat 0,2 poin; Dari persoalan inilah peningkatan CPR setidaknya harus di atas angka 65 persen, dan menekan unmet need menjadi kurang dari 5 persen. Ini bukan pekerjaan mudah namun perlu strategi baru yang lebih efektif dan realistis.
3) Menggerakkan program KB lebih intensif dengan target yang jelas yakni peningkatan penggunaan alat kontrasepsi untuk menekan angka kelahiran. Pernyataan ini terkait dengan data BPS (2010) yang mencatat jumlah pasangan usia subur 15-49 tahun yang kawin mencapai angka 72,47 %. Selanjutnya persentase wanita usia subur yang kawin dan sedang menggunakan alat KB sekitar 63, 67 %, tidak sedang menggunakan alat KB 19,07 %, dan yang tidak pernah menggunakan alat KB sekitar 17,26 %. Kenyataan ini merupakan tantangan ke depan, agar program pengendalian jumlah penduduk dapat ditingkatkan, terutama mengurangi disparitas TFR,CPR dan unmet need;
4) Mencari strategi baru yang lebih menekankan kepada peningkatan program KB bagi pria. Hal ini didasarkan atas rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB yang baru mencapai 4,5 % saja;
5) Peningkatan program KB yang berorientasi pemberdayaan perempuan. Dari titik inilah pendekatan sosial budaya harus menjadi prioritas selain aspek-aspek teknis dalam pengendalian penduduk. Program KB mencakup isu yang lebih luas. Program KB tidak identik dengan pakai kontrasepsi, penurunan angka kelahiran, namun terkait dengan tujuan untuk : Pemenuhan hak-hak reproduksi, promosi, pencegahan, penanganan kesehatan reproduksi dan seksual, serta kesehatan dan kesejahteraan ibu, bayi, dan anak.
1.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia Sekolah
Tabel 1.3 Jumlah dan Persentase Kelompok Umur Sekolah Menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Kabupaten/Kota | Kelompok Umur Sekolah | ||||||
7-12 | % | 13-15 | % | 16-18 | % | ||
Kab | Cilacap | 194 058 | 11,82 | 98 819 | 6,02 | 79 331 | 4,83 |
Kab | Banyumas | 169 773 | 10,92 | 82 119 | 5,28 | 73 567 | 4,73 |
Kab | Purbalingga | 97 534 | 11,49 | 47 528 | 5,60 | 39 944 | 4,71 |
Kab | Banjarnegara | 98 130 | 11,29 | 47 238 | 5,44 | 41 868 | 4,82 |
Kab | Kebumen | 137 353 | 11,84 | 73 312 | 6,32 | 58 581 | 5,05 |
Kab | Purworejo | 74 448 | 10,71 | 40 790 | 5,87 | 35 319 | 5,08 |
Kab | Wonosobo | 88 748 | 11,76 | 42 779 | 5,67 | 35 804 | 4,74 |
Kab | Magelang | 126 456 | 10,70 | 66 148 | 5,60 | 59 349 | 5,02 |
Kab | Boyolali | 97 608 | 10,49 | 49 839 | 5,36 | 43 298 | 4,65 |
Kab | Klaten | 108 397 | 9,59 | 55 520 | 4,91 | 52 807 | 4,67 |
Kab | Sukoharjo | 81 219 | 9,85 | 42 165 | 5,12 | 41 027 | 4,98 |
Kab | Wonogiri | 88 457 | 9,52 | 45 966 | 4,95 | 38 523 | 4,15 |
Kab | Karanganyar | 83 918 | 10,32 | 40 674 | 5,00 | 36 953 | 4,54 |
Kab | Sragen | 87 012 | 10,14 | 44 697 | 5,21 | 39 379 | 4,59 |
Kab | Grobogan | 145 183 | 11,09 | 73 936 | 5,65 | 65 151 | 4,98 |
Kab | Blora | 85 985 | 10,36 | 42 236 | 5,09 | 37 126 | 4,47 |
Kab | Rembang | 59 650 | 10,09 | 31 645 | 5,35 | 30 978 | 5,24 |
Kab | Pati | 120 777 | 10,14 | 63 551 | 5,34 | 60 178 | 5,05 |
Kab | Kudus | 79 954 | 10,28 | 42 363 | 5,45 | 41 714 | 5,37 |
Kab | Jepara | 121 287 | 11,05 | 59 559 | 5,43 | 57 964 | 5,28 |
Kab | Demak | 122 686 | 11,62 | 64 097 | 6,07 | 61 367 | 5,81 |
Kab | Semarang | 94 002 | 10,10 | 47 571 | 5,11 | 45 997 | 4,94 |
Kab | Temanggung | 73 149 | 10,32 | 37 311 | 5,27 | 32 523 | 4,59 |
Kab | Kendal | 95 935 | 10,66 | 51 616 | 5,73 | 47 837 | 5,31 |
Kab | Batang | 76 567 | 10,83 | 40 575 | 5,74 | 37 876 | 5,36 |
Kab | Pekalongan | 100 569 | 11,99 | 53 713 | 6,40 | 47 552 | 5,67 |
Kab | Pemalang | 155 610 | 12,34 | 78 087 | 6,19 | 66 573 | 5,28 |
Kab | Tegal | 168 787 | 12,10 | 84 862 | 6,08 | 71 516 | 5,13 |
Kab | Brebes | 208 122 | 12,00 | 107 365 | 6,19 | 96 791 | 5,58 |
Kota | Magelang | 11 183 | 9,46 | 5 952 | 5,03 | 6 399 | 5,41 |
Kota | Surakarta | 45 503 | 9,11 | 24 222 | 4,85 | 27 438 | 5,49 |
Kota | Salatiga | 15 529 | 9,12 | 8 269 | 4,85 | 9 205 | 5,40 |
Kota | Semarang | 146 382 | 9,41 | 74 139 | 4,76 | 85 096 | 5,47 |
Kota | Pekalongan | 30 810 | 10,95 | 16 161 | 5,74 | 15 895 | 5,65 |
Kota | Tegal | 25 397 | 10,60 | 13 352 | 5,57 | 13 113 | 5,47 |
JAWA TENGAH | 3 516 178 | 10,86 | 1 798 176 | 5,55 | 1 634 039 | 5,05 |
Sumber : BPS Sensus Penduduk Tahun 2010
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kelompok usia sekolah (7-18 tahun) di Jawa Tengah cukup tinggi yakni 6.948.388 atau 21,46 persen dari seluruh penduduk, dan persentase yang paling tinggi adalah kelompok umur 7-12 tahun (10,86 persen). Besarnya kelompok anak usia sekolah ini memerlukan perhatian yang serius karena pendidikan adalah bekal utama untuk menghadapi hidup di masa mendatang. Jika diukur secara relatif, dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, Kabupaten Pemalang menduduki peringkat pertama untuk jumlah penduduk usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) yakni sebanyak 12,34 persen dan Kota Surakarta yang terkecil yakni 9,11 persen. Penduduk yang terbanyak untuk tingkat SMP (13-15 tahun) di Kabupaten Pekalongan yakni 6,40 persen dan yang terkecil di Kota Semarang yakni 4,76 persen, sedangkan untuk penduduk tingkat SMA (16-18 tahun) terbanyak di Kabupaten Pekalongan sebesar 5,67 persen dan terkecil di Kabupaten Wonogiri sebesar 4,15 persen.
Terkait dengan jumlah penduduk usia sekolah di Jawa Tengah ini maka permasalahan yang dihadapi adalah :
1) Tingginya kelompok anak usia sekolah menunjukkan Jawa Tengah menghadapi permasalahan di bidang pendidikan dasar dan menengah. Setidaknya ada beberapa kebijakan pokok yang harus ditingkatkan di bidang pendidikan yakni : peningkatan mutu pendidikan, relevansi dan daya saing pendidikan, pemerataan dan perluasan akses pendidikan terutama pendidikan dasar (wajar 9 tahun). Hal ini ditekankan karena data BPS (2010) mencatat bahwa pada tahun 2009 mutu pendidikan di Jawa Tengah masih kurang mengingat jumlah tenaga pendidik yang bekualifikasi S1/D4 hanya 46,37 persen saja. Peningkatan daya saing pendidikan sangat penting karena data BPS (2010) menunjukkan ada 1,25 juta orang di Jateng menganggur karena tidak mendapatkan pekerjaan. Dari titik inilah gagasan pendidikan vokasi atau keterampilan pantas dilaksanakan dengan proporsi lebih besar lagi. Hanya yang perlu dicatat, pendirian pendidikan vokasi harus hati-hati dengan memperhatikan mutu, kelengakapan laboratorium atau bengkel, mutu guru, sarana-prasarana dan relevansi dengan perkembangan ekonomi global.
2) Program pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat. Data BPS (2005) menyebutkan bahwa tahun 2004 jumlah penduduk Jateng yang buta aksara pada kelompok usia 10 - 44 tahun mencapai 724.229 orang, sedangkan kelompok usia 45 tahun keatas jumlahnya 2.875.294 orang. Tahun 2005 Sebanyak 625.428 orang di Jateng masih buta huruf. Ironisnya, kondisi ini dialami oleh penduduk berusia produktif, yakni umur 10 - 44 tahun. Sedang, pada penduduk usia diatas 45 tahun, dibanding tahun lalu diperkirakan jumlahnya stagnan. Sampai bulan Januari 2006 sedikitnya 598.014 orang dengan prevalensi usia 15 - 44 tahun, buta aksara. Kemudian untuk usia 10 tahun ke atas 3.303.000 orang yang masih buta aksara atau buta huruf.
3) Meningkatkan pendapatan orang tua miskin yang kesulitan untuk menyekolahkan anaknya. Akibatnya angka putus sekolah akan tinggi, selain karena mahalnya biaya (operasional) pendidikan, juga akibat adanya persepsi dari orang tua murid yang miskin bahwa anak merupakan pembantu utama untuk mencari nafkah. Menurut teori household survival strategy dari Harbirson (1981), masyarakat miskin akan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang tersedia jika kondisi ekonomi mengalami perubahan, dan salah satu usaha itu ialah memanfaatkan tenaga kerja keluarga termasuk tenaga anak-anaknya. Jadi mereka beranggapan, mengapa harus menyekolahkan anak sampai tingkat SMP misalnya, kalau ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan , kemudahan mencari kerja dan perbedaan yang cukup berarti upah antara lulusan SD dan lulusan SMP. Karenanya mereka beranggapan akan lebih baik jika anak dimanfaatkan untuk membantu ekonomi keluarga. Dengan kata lain, keengganan orang miskin menyekolahkan anaknya bisa juga disebabkan adanya ”opportunity cost” yang hilang. Artinya orang tua merasa tidak untung jika anaknya lulus SMP, tetapi dengan upah yang sama dengan lulusan SD. Peningkatan pendapatan ekonomi ini penting terkait dengan data orang miskin di Jateng yang masih cukup tinggi yakni 6,19 juta jiwa pada tahun 2008 dan jumlah penganggur terbuka masih 1,25 juta jiwa (BPS,2010). Data ini belum menyangkut jumlah setengah penganggur yang tentu lebih besar. Setengah penganggur adalah orang yang kelihatannya bekerja namun hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4) Penyediaan dana yang cukup untuk meningkatkan ”daya beli” masyarakat miskin dalam bidang pendidikan, selain membebaskan SPP, juga ada program beasiswa, bantuan makanan tambahan, bantuan transportasi, atau mengubah metode dan waktu jam belajar agar anak-anak miskin masih tetap bisa membantu orang tuanya bekerja, kemudian siang harinya mereka dapat masuk sekolah dan sebagainya. Menurut Carlson, dalam Adoption of Education Innovations (Suyanto,1995), agar inovasi pendidikan dapat diadopsi oleh masyarakat, maka mereka perlu diyakinkan bahwa materi inovasi itu memang memiliki keuntungan relatif jika dibandingkan dengan sistem atau praktek yang selama ini telah ada.
5) Menggerakkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mengkampanyekan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. Dengan adanya himbauan tokoh agama atau tokoh masyarakat, maka ada semacam ”sanksi” religius atau sanksi sosial bagi mereka yang melanggar. Tentu hal ini dapat dilakukan jika kewajiban pemerintah (daerah) untuk menyantuni fakir miskin ini telah dipenuhi;
1.4 Angka Dependency Ratio dan Window Opportunity
Istilah Dependency Ratio menyatakan perbandingan antara kelompok usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) terhadap kelompok penduduk usia produktif (15-64 tahun). Rasio ini menyatakan seberapa berat beban tanggungan yang harus dipikul oleh jumlah penduduk usia produktif. Jika angka itu satu berbading dua, artinya satu untuk usia tidak produktif dan dua untuk usia produktif, maka disebut mengalami bonus demografi atau ada window of opportunity atau jendela kesempatan.
Tabel 1.4 Dependency Ratio dan Sex Ratio Menurut Kabupaten/Kota, Jawa Tengah 2010
Kabupaten/Kota | TOTAL DR | ODR | YDR | SR |
01. Kab. Cilacap | 54.8 | 11.0 | 43.8 | 100.8 |
02. Kab. Banyumas | 52.4 | 11.8 | 40.6 | 100.2 |
03. Kab. Purbalingga | 55.1 | 11.7 | 43.4 | 98.0 |
04. Kab. Banjarnegara | 52.3 | 10.9 | 41.4 | 100.8 |
05. Kab. Kebumen | 59.0 | 14.2 | 44.8 | 99.6 |
06. Kab. Purworejo | 56.4 | 16.6 | 39.8 | 97.7 |
07. Kab. Wonosobo | 54.2 | 11.0 | 43.3 | 103.2 |
08. Kab. Magelang | 51.1 | 11.8 | 39.3 | 101.1 |
09. Kab. Boyolali | 53.3 | 14.0 | 39.3 | 97.4 |
10. Kab. Klaten | 50.4 | 14.6 | 35.9 | 96.8 |
11. Kab. Sukoharjo | 46.3 | 10.8 | 35.5 | 98.6 |
12. Kab. Wonogiri | 53.3 | 18.8 | 34.4 | 94.9 |
13. Kab. Karanganyar | 49.1 | 11.5 | 37.6 | 98.2 |
14. Kab. Sragen | 51.0 | 13.6 | 37.4 | 96.4 |
15. Kab. Grobogan | 50.9 | 10.9 | 40.0 | 98.3 |
16. Kab. Blora | 48.9 | 12.3 | 36.6 | 97.3 |
17. Kab. Rembang | 44.7 | 9.5 | 35.2 | 99.7 |
18. Kab. Pati | 47.8 | 11.6 | 36.2 | 94.3 |
19. Kab. Kudus | 43.4 | 7.3 | 36.2 | 97.4 |
20. Kab. Jepara | 49.6 | 8.7 | 40.9 | 99.8 |
21. Kab. Demak | 49.0 | 7.5 | 41.5 | 98.6 |
22. Kab. Semarang | 47.5 | 10.7 | 36.8 | 97.0 |
23. Kab. Temanggung | 48.9 | 11.1 | 37.9 | 100.9 |
24. Kab. Kendal | 48.0 | 9.4 | 38.6 | 103.2 |
25. Kab. Batang | 47.9 | 8.7 | 39.1 | 100.1 |
26. Kab. Pekalongan | 52.7 | 8.5 | 44.3 | 99.1 |
27. Kab. Pemalang | 54.7 | 9.6 | 45.1 | 98.4 |
28. Kab. Tegal | 54.0 | 9.0 | 45.0 | 99.2 |
29. Kab. Brebes | 52.4 | 9.1 | 43.2 | 101.4 |
71. Kota Magelang | 43.5 | 10.5 | 33.1 | 97.3 |
72. Kota Surakarta | 39.8 | 8.4 | 31.3 | 95.0 |
73. Kota Salatiga | 42.4 | 9.0 | 33.3 | 96.1 |
74. Kota Semarang | 39.3 | 6.4 | 32.9 | 96.6 |
75. Kota Pekalongan | 45.3 | 6.3 | 39.0 | 100.4 |
76. Kota Tegal | 45.7 | 7.3 | 38.4 | 98.5 |
JAWA TENGAH | 50.3 | 10.8 | 39.5 | 98.8 |
Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah Dependency Ratio yang tertinggi bebannya adalah Kabupaten Kebumen yakni 59,0 yaitu setiap 100 orang penduduk produktif menanggung 59,0 penduduk tidak produktif dan yang terendah bebannya di Kota Semarang sebesar 39,3 yaitu setiap 100 penduduk produktif menanggung beban 39,3 penduduk tidak produktif. Semakin kecil Ratio Ketergantungan maka kondisi Kab/Kota tersebut semakin maju. Di negara Maju seperti Amerika Serikat angka Dependensi Rationya: 25.
Hal yang cukup menggembirakan dari 32,3 juta penduduk Jawa Tengah jika dirinci menurut kelompok umur, maka akan diperoleh angka : Pada kelompok umur 0-14 tahun ada 26,73 %, kelompok umur 15-64 tahun berjumlah 65,72 %, dan kelompok umur 65 tahun ke atas berjumlah 7,55 %. Angka tersebut menunjukkan bahwa Jawa Tengah hampir menikmati Bonus Demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif 15-64 tahun hampir dua kali lipat dari kelompok umur tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).
Berdasarkan komposisi tersebut, maka yang menjadi masalah di Jawa Tengah adalah :
1) Apakah kelompok usia produktif itu termasuk penduduk yang bermutu, karena data BPS (2010) menunjukkan ada 5.204.437 jiwa penduduk Jawa Tengah yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu, alias menjadi setengah penganggur. Jika angka usia produktif tidak atau kurang bermutu, maka bonus demografi tersebut hampir tidak ada artinya. Untuk itu sumber daya manusia pada penduduk usia produktif perlu ditingkatkan dengan pelatihan ketrampilan dalam balai latihan kerja.
2) Peningkatan produktivitas kerja, terutama di sektor pertanian agar penduduk desa tidak bermigrasi ke kota, ke luar daerah atau ke luar negeri. Pernyataan ini didasarkan atas fakta bahwa di Jawa Tengah, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB juga mengalami penurunan, dari 20,01 % pada tahun 2007, menjadi 19,34 % pada tahun 2009 (BPS,2009).
3) Penyediaan lapangan kerja karena jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah pada tahun 2007 mencapai angka 17,66 juta jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka sebanyak 7,7 % atau 1,36 juta jiwa (BPS,2008).
4) Peningkatan program kesejahteraan untuk mengurangi kemiskinan. Dengan pemberdayaan di sektor pertanian, usaha mikro dan kecil menengah, maupun koperasi rakyat lainnya , diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil. Hal ini berdasar fakta bahwa angka kemiskinan di Jawa Tengah cukup tinggi, yakni 3,17 juta rumah tangga miskin atau setara 12,68 juta jiwa, serta 1,39 juta jiwa tergolong sangat miskin dan 1,54 juta jiwa tergolong miskin (BPS,2008)
5) Peningkatan produktivitas di sektor industri dengan berbagai program. Kenyataan ini terkait dengan rendahnya upah yang diterima pekerja. Data yang dicatat BPS (2009) menunjukkan bahwa rata-rata upah di Provinsi Jawa Tengah lebih rendah jika dibandingkan dengan angka nasional. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) rata-rata sebesar Rp.715.700 orang per bulan pada tahun 2008.
6) Peningkatan program pelatihan dan keterampilan untuk menekan arus tenaga kerja ke luar negeri yang banyak membawa masalah. Seperti diketahui, kesukaran memperoleh pekerjaan di Indonesia menyebabkan pula terjadinya gelombang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah dan Malaysia. Berdasarkan hal ini, nampak bahwa situasi pasar kerja di Jawa Tengah tercatat dua hal sebagai berikut : Pertama, dari sisi penawaran, jumlah angkatan kerja masih terus meningkat. Kedua, pengangguran terdidik (SLTA ke atas) masih tinggi dan diperkirakan terus meningkat secara drastis pada tahun-tahun yang akan datang. Perkembangan ini mengindikasikan adanya hubungan negatif antara tingkat pendidikan dan kesempatan kerja.
7) Meningkatkan keunggulan potensi ekonomi dan sumberdaya manusia di perdesaan. Sebagai contoh di Desa Tahunan Kabupaten Jepara, ada usaha ukir kelas dunia yang dapat menggerakkan ekonomi desa dan dapat menekan urbanisasi. Tuntutan ini penting dilakukan karena sudah lama McGee (1971) mengatakan bahwa kota-kota besar di negara-negara berkembang menghadapi persoalan sulitnya menciptakan lapangan kerja di satu sisi dan membesarnya kota pada sisi yang lain. Kesempatan kerja yang banyak tersedia di kota hanya ada di sektor informal (Manning,1985). Akibatnya di kota-kota besar terjadi urbanisasi berlebih, yakni ketidakmampuan pemerintah kota dalam mencukupi pelayanan bagi warganya (Todaro dan Stilkind,1981).
II. REKOMENDASI
2.1 Revitalisasi Pelayanan KB
Terbitnya UU No.52/2009 menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mengurusi masalah kependudukan. Lewat UU itu pula BKKBN yang semula Badan Koordinasi KB, kini menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Karenanya, untuk menurunkan angka TFR, harus ada upaya komprehensif dan terpadu, mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Revitalisasi pelayanan KB harus dilakukan.
Mestinya lembaga-lembaga desa PKK, PPKBD ( SKD) yang turut aktif memainkan peran untuk masalah kependudukan, keluarga, dan kesehatan di jaman Orde Baru, harus direvitalisasi, dan bukannya dihapus. Program KB di masa Orde Baru yang dipandang masih ”represif”, kini harus diperbarui, bukan hanya masalah kualitas penduduknya saja, namun juga terkait dengan kesehatan reproduksi. Program KB mestinya juga memperhatikan hal ini dengan prinsip melayani klien (peserta KB) dengan “quality of care” dan bukan hanya “quality of service”. Yang disebut pertama adalah prinsip memperhatikan klien tidak hanya secara teknis, namun juga hubungan antar pribadi yang intens yang hasil akhirnya ada peningkatan pengetahuan klien terhadap perilaku reproduksi yang sehat.
Para petugas lapangan KB (PLKB) harus diberdayakan lagi dengan imbalan yang pantas ,agar mereka yang sudah terlatih, tidak tergoda untuk pindah ke dinas lain. Tidak mudah dan tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk menjadikan PLKB yang terlatih dan siap kerja, terutama yang memiliki keahlian melayani dengan prinsip “quality of care”. Rendahnya anggaran untuk program KB yang saat ini hanya 2,9 triliun rupiah, serta berkurangnya jumlah para PLKB, menyebabkan 9,1 persen calon akseptor KB belum terlayani. Jumlah ini naik dari angka 8,9 persen pada tahun sebelumnya (data dari Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007).
Quality of Care mensyaratkan kepada para klien KB untuk memiliki pengetahuan yang memadai, kerahasiaan yang terjamin, keamanan penggunaan kontrasepsi, petugas KB harus memahami perasaan klien. Dengan kata lain, informasi yang lengkap tentang klien merupakan unsur penting dalam menentukan standar pelayanan. Ukuran keberhasilan KB adalah kepuasan klien dan meningkatnya pengetahuan klien tentang reproduksi yang sehat, serta rendahnya tingkat kegagalan KB.
Karenanya, penyedia layanan harus memberikan penjelasan tentang alat kontrasepsi yang cocok dan tepat tanpa memprioritaskan atau membatasi pada satu metode kontrasepsi. Klien harus memiliki informasi yang lengkap mengenai metode-metode kontrasepsi tentang kelebihan dan kekurangannya, termasuk kontraindikasi, efek samping dan pelayanan klinis lanjutan. Karenanya, penyedia layanan secara teknis mampu melakukan screening klien untuk mengidentifikasi kontraindikasi dan mampu memberikan pelayanan klinis secara efektif dan berkesinambungan.
Agar tidak terjadi efek samping yang tidak diinginkan, penyedia layanan harus mencari informasi mengenai latar belakang klien, tujuan reproduksinya, pengalaman-pengalaman yang pernah dimilikinya terkait kontrasepsi dan preferensinya dan kemudian membantu klien memilih alat kontrasepsi yang sesuai. Klien menerima informasi mengenai kemungkinan pergantian metode kontrasepsi atau sumber-sumber suplai pelayanan dan membuat jadwal pelayanan lanjutan. Kesemuanya dilakukan oleh penyedia layanan untuk melayani klien secara wajar, manusiawi, melindungi rahasia pribadinya, berbagi rasa dan informasi, serta melakukan konseling secara interpersonal.
Sketsa masalah di atas jelas mengisyaratkan perlunya menghidupkan program KB yang lebih baik dibandingkan pada masa Orde Baru, serta berbagai kebijakan kependudukan lainnya.
2.2 Kebijakan Kependudukan
Bertambahnya tugas BKKBN menjadi Badan Kependudukan dan KB Nasional, maka lembaga ini juga harus mendesain program kependudukan yang komprehensif bersama lembaga lain seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan sebagainya. Banyak definisi tentang arti kebijakan kependudukan (population policy), diantaranya sebagaimana dikatakan oleh Eldrige (dalam Weller and Bouvier,1981), yakni sebuah tindakan atau langkah nyata dari pemerintah, baik melalui langkah administratif atau legislatif, untuk mengatur atau mengendalikan kecenderungan pertumbuhan penduduk guna mencapai kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari upaya mempertahankan hidup secara nasional.
Kebijakan kependudukan harus merupakan desain atau program nyata dari pemerintah untuk mengatur hal ihwal yang berkaitan dengan penduduk, dan yang harus dikendalikan dan diatur, yakni komposisi penduduk, jumlah penduduk, ukuran dan persebaran penduduk. Pemerintah harus menjadi aktor kunci /utama untuk mengatur dan menerapkan kebijaksanaan kependudukan, sehingga pemerintah harus merumuskan target yang jelas dan terukur, serta memiliki strategi dan program yang telah disusun secara baik agar intervensinya dapat diterapkan secara nyata untuk menghasilkan perubahan sosial ekonomi masyarakat.
Perilaku demografis bukan terdiri atas kumpulan tindakan individu, demikian pula kesejahteraan masyarakat tidak selalu hasil penjumlahan dari kesejahteraan individu. Namun yang jelas keberhasilan mengendalikan dan mengatur penduduk akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Berkaitan dengan arus migrasi yang memadati kota-kota besar, maka perlu upaya menciptakan lapangan pekerjaan di perdesaan, tujuannya diharapkan dapat mengerem laju urbanisasi. Untuk itu berbagai studi tentang karakeristik penduduk perdesaan dan potensi sumber daya alam menjadi penting artinya.
Kebijakan kependudukan yang baik akan berimbas kepada peningkatan mutu penduduk. Jika mutu penduduk meningkat maka program-program KB juga akan lebih mudah diimplementasikan, terutama usaha penurunan disparitas TFR,unmet need, dan CPR antar serta meningkatnya keserasian kebijakan pengendalian penduduk dengan pembangunan sosial ekonomi, budaya dan kesehatan.
sangat bermanfaat Pak Najib Postingannya
BalasHapussalam dari PUSNA
untuk Mailinglist silahkan akses link berikut ini
http://asia.groups.yahoo.com/group/IPKKBI/