iklN11

iklan 9

Minggu, 24 April 2011

REVITALISASI PROGRAM KB DI JAWA TENGAH SULIT TERWUJUD BILA TIDAK DILAKUKAN MELALUI KEMITRAAN


 Gaung revitalisasi program KB telah berkumandang dari pusat sampai ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menyerukan revitalisasi program Keluarga Berencana (KB) pada acara puncak Hari Keluarga Nasional ke XIV. ”Hari ini kita hidupkan kembali program KB, mulai sekarang dan kedepan. Saya intruksikan seluruh jajaran pemerintahan untuk mensukseskan revitalisasi program KB kepada gubernur, bupati dan walikota, dan semua pemimpin pemerintahan untuk tampil didepan menyukseskan program ini,“ ujar Presiden.
Seruan tersebut mensiratkan harus adanya proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya yaitu program KB  menjadi vital, sangat penting atau perlu sekali untuk kehidupan. Apabila pemerintah memperkuat kembali sektor KB secara serius dan konsisten, sekurang-kurangnya lima dari delapan sasaran MDGs dapat dicapai. Di samping KB secara umum dapat membantu merencanakan jumlah kelahiran, ia juga menurunkan beban keluarga yang harus diberi makan, menjaga kesehatan ibu dan anak dan meningkatkan produktifitas dan pendapatan keluarga.
 Revitalisasi program KB harus dilakukan secara nasional, khususnya di Jawa Tengah sebagai penyangga keberhasilan program KB nasional, karena dalam tahun 2009 pertumbuhan akseptor baru hanya 4,4%, dan peserta KB aktif hanya 2,3%. Hasil SDKI 2007 menunjukkan bahwa angka fertilitas total (TFR) Jawa Tengah mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan hasi SDKI 2003 yaitu dari 2,1 menjadi 2,3, ini berarti bahwa seorang wanita di Jawa Tengah secara rata-rata akan mempunyai 2,3 anak selama hidupnya. Pada level ini TFR Jawa Tengah masih lebih rendah bila dibandingkan dengan 28 provinsi lain dari 33 provinsi yang ada di Indonesia.
Di Jawa Tengah, revitalisasi program KB telah dilakukan berbagai upaya melalui kemitraan dengan Instansi Pemerintah maupun LSOM, diantaranya TNI, Dinkes, Muslimat, Aisiyah dll. Sesuai arahan Presiden : “Kepada jajaran Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saya intruksikan untuk meningkatkan kinerjanya memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan lebih baik. Mintakan bantuan dan berkonsultasilah dengan pemuka agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, serta pemimpin informal lainnya. Pilih metodologi dan cara-cara yang tepat, lindungi hak azasi manusia dan termasuk hak reproduksi, sekaligus hak-hak kaum perempuan terbebas dari kekerasan,”.  
Dalam merevitalisasi program KB perlu dimengerti bahwa saat ini, didalam era reformasi serta semakin dikembangkannya otonomi daerah, posisi sasaran program KB telah lebih banyak mengarah pada masyarakat yang menganut desentralisasi serta lebih demokratis. Dengan demikian pola pembangunan masyarakatnyapun menjadi sangat berbeda. Apabila sebelumnya dapat dilaksanakan dengan berorientasi pada kelembagaan tingkat pusat, maka kini pendekatannya sudah harus lebih individual serta memenuhi kaidah-kaidah masyarakat yang berlaku pada lingkungan masing-masing daerah atau kelompok masyarakat.
Di lini lapangan, pendekatan yang demikian individual sangatlah membutuhkan tenaga para petugas lapangan dan penyuluh KB (PLKB/PKB). Sementara itu, banyak tenaga PLKB/PKB yang sudah dialih-tugaskan untuk menduduki jabatan lain, sehingga jumlanya saat ini sangat kurang sekali. Di Jawa Tengah pada tahun 2009 jumlah PLKB/PKB sebanyak 2.572 orang yang tersebar di 8.574 desa/kelurahan, ini artinya setiap 10 desa/kelurahan hanya dibina oleh 3 orang PLKB/PKB. Dengan berkurangnya jumlah PLKB/PKB ini maka mekanisme operasional program KB dilini lapangan boleh dikatakan “mati suri” apabila tidak ingin disebut “berhenti”. Hal ini disebabkan karena aktivitas para volunteer (relawan) yang dikenal dengan sebutan PPKBD, para sub PPKBD serta para kader dipedesaan sangatlah bergantung pada kontinuitas motivasi yang diberikan oleh para PLKB/PKB tersebut.
Dengan pola pendekatan kepada masyarakat yang sudah berubah tersebut, serta semakin berkurangnya petugas lini lapangan baik yang formal maupun informal, maka semakin disadari bahwa dalam pelaksanaan program KB tidak mungkin BKKBN bekerja sendiri. Dengan demikian, pola pelayanan dilapangan haruslah lebih banyak melibatkan berbagai sektor dan program lain, serta LSOM maupun organisasi-organisasi profesi. Dalam hal ini bukan saja organisasi profesi yang hanya terkait dengan masalah kontrasepsi, akan tetapi berkaiatan pula dengan berbagai segi karena sasarn penggarapan program KB bukan hanya terfokus pada masalah penggunaan kontrasepsi saja, namun juga bagaimana memberdayakan keluarga melalui bina-bina (UPPKS, BKB, BKR, BKL, dan BLK) yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan sehingga menjadi peserta KB mandiri.
Melalui pelayanan advokasi dan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) yang melibatkan partisipasi dari berbagai profesi dimasyarakat, seperti misalnya para artis, para ahli komunikasi, para ahli demografi, para sosiolog, para wartawan dan banyak lagi dari disiplin lainnya, dan tentu saja tidak ketinggalan pula para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang sangat disegani oleh masyarakat, kita harus mengembalikan lagi kesadaran masyarakat untuk ber-KB demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Kita berharap dengan revitalisasi program KB, keluarga sebagai unit terkecil bangsa akan dapat lebih bahagia dan sejahtera sehingga SDM Indonesia akan mampu berkompetisi dengan masyarakat dunia lainnya.